Kutu kampret!!
Aku pasti sudah terjerembab ke selokan kalau tanganku tak reflek meraih batang mahoni didekatku. Siapa yang menaruh batu sebesar kepala kerbau itu dipinggir jalan umum. Kalau saja tahu orangnya, sudah tak lempar batu ini ke mukanya. Dadaku bertambah sesak. Jengkel bercampur marah tak karuan, bersatu padu menaikkan tensi darahku hingga ke ubun-ubun.
Tapi mungkin salahku juga, jalan gak liat-liat. Gimana mau lihat jalan kalau pikiran gak tenang, kacau, marah, jengkel, resah, gondok. Ini semua gara-gara Marini. Kalau saja hari ini aku tidak ketemu dia di terminal, tidak mungkin dia mengatakan, “Mas Asep, kita akhiri hubungan kita sampai disini saja ya…!?”
Huh!! Apa salahku? Padahal kemarin malam minggu waktu aku ngapel kerumahnya dia baik-baik saja, bahkan aku dan Marini masih sempat berpelukan mesra. Marini pun malah sempat ngomong rencana masa depan.
“Kalau kita jadi menikah, Mas Asep mau punya anak berapa?”
Aku mengernyitkan dahi. Ada-ada saja pertanyaan Marini, wong nikah aja belum sudah merancang jumlah produksi anak.
“Tergantung”, jawabku singkat dan padat, sepadat dada Marini yang sesekali kulirik dengan ujung mataku.
Marini menatapku,”Tergantung apanya?”
“Tergantung kamu kuat melahirkan anak berapa.”
“Ya, kalau itu ditanggung, satu kesebelasan pun aku sanggup”, Marini ngakak. “Mas Asep sendiri kuat gak?”
Hehe. Aku tersenyum dalam hati.
“Jangan tanya soal itu. Meski aku belum pernah nyoba itu, tapi nih…” Aku memperlihatkan otot lenganku yang lumayan kekar karena keseringanku fitness. “Ditanggung kamu bakal kewalahan…”
“Mas bener-bener saying sama aku kan?”
“Sayaaaaang banget.”
“Apapun yang terjadi?”
“Apapun. Kamu sudah peot pun aku tetep sayang sama kau kok.”
Marini ngakak lagi. Ketawanya lepas dan wajahnya nampak ceria. Karena wajahnya yang tak pernah sedih itulah yang selalu bikin hari-hariku menjadi ceria. Makanku jadi enak, tidur nyenyak, kerjapun lancar.
Tapi pagi ini tiba-tiba semua hancur berkeping-keping. Kepergian Marini ke Jakarta ternyata menjadi akhir hubunganku yang sudah terjalin empat tahun. Bis Nusantara yang dinaikinya seakan membawa segalanya yang pernah ku miliki. Sempat kulihat kaca bis belakang ada tulisan “TINGGAL KENANGAN”, ah kenapa bis ini pun mesti ikut-ikut menyindirku. Huh! Ya, semua memang tinggal kenangan. Yang membuat aku jengkel dan marah, Marini tak mau mengatakan alasannya mengapa harus putus, padahal aku sudah bilang kalau aku sanggup menunggunya kembali kapanpun.
“Mas, kalau jalan jangan sambil ngalamun. Dibawah ada tai kebo, tar keinjek lho.”
Brengsek!! Penunggang sepeda ontel yang melintas disampingku membuyarkan lamunanku. Tapi benar juga, di pinggiran aspal tepat didepanku ada tai kebo sebesar mangkok bakso terhidang. Untung gak buntung dua kali. Slamet, slamet.
Hari sudah mulai panas. Kulirik jam butut hadiah Marini yang setia melingkar dipergelangan tanganku. Sudah jam sembilan kurang seperempat. Wah aku harus cepat-cepat nyampe pasar nih kalau gak mau kehabisan bahan belanja. Biasa, terigu, gula, tempe, tahu, pisang, kol, wortel dan minyak goreng. Kerjaanku kan memang penjual gorengan. Tiap sore aku dorong gerobak beserta bahan gorengan lengkap yang paginya aku beli di pasar, mangkal dipinggir jalan yang kebetulan berada di depan rumah Marini, makanya aku kenal sama dia, bahkan sampai berlanjut pacaran karena seringnya bertemu. Mungkin seperti pepatah jawa “witing tresno jalaran saka kulina”.
Aku stop angkot yang melintas. Penumpang penuh sesak, aku kebagian duduk mepet didekat pintu. Lumayan, angin berhembus masuk kesela-sela kaosku, jadi gak terasa begitu panas. Selang sepuluh menit berjalan, angkot berhenti dan saat kulongok ke depan, eh semua mobil berhenti juga. Ada apa nih?
“Ada apa Mas?” aku tanya mas-mas yang sedang berdiri dipinggir jalan.
“Itu Mas ada bis tabrakan sama truk.”
“Parah Mas?”
“Kayaknya sih…”
Wah pasti lama nih, pikirku. Pasar tinggal deket lagi, mending jalan kaki aja deh daripada nunggu angkot jalan belum tahu kapan. Aku menyerahkan dua lembar ribuan ke sopir angkot lalu aku berjalan menyelinap diantara mobil-mobil yang sedang menikmati kemacetan.
Tak berapa lama aku sampai ke tempat terjadinya kecelakaan. Bis Nusantara melawan truk pengangkut pasir. Depan bis ringsek tak beraturan, kemungkinan sopir dan penumpang yang didepan pasti tak selamat. Moncong truk pun ringsek, bahkan posisinya miring bersandar pada tiang listrik. Beberapa orang polisi dan petugas medis tampak mengevakuasi korban. Aku berjalan lebih mendekat lagi. Astaghfirulah!! Jantungku berdegup kencang ketika melihat kaca belakang bis. Terpampang tulisan “TINGGAL KENANGAN”. Jangan-jangan…!!! Aku terlonjak lalu meloncat kearah para medis yang sedang mengevakuasi korban.
Para korban yang meninggal di teras sebuah toko emas hanya ditutupi kain seadanya, sedang yang luka langsung di bawa ke rumah sakit. Aku memeriksa korban-korban yang tergeletak kaku dengan jantung yang berdebar tak karuan. Aku tak berharap seperti yang aku bayangkan. Namun ketika melewati sesosok tubuh dengan kepala bersimbah darah dengan memakai baju biru, tubuhku terhuyung kebelakang.
Marini!!! Jantungku seperti lepas dari tempatnya. Kenapa ini terjadi padamu Mar? Aku rela kita putus, tapi tak seharusnya kamu meninggalkan aku selamanya. Aku tergugu tak bisa menahan perasaan didalam rongga dadaku ini.
“Mas keluarganya?” tanya seorang paramedis mengagetkanku.
“I iya Pak, saya temennya.”
“Kalau begitu tolong hubungi keluarganya supaya mengurus korban di rumah sakit.”
“Iya pak, segera saya hubungi keluarganya.”
“Maaf mas, korban tadi masih memegang amplop ini, mungkin penting. Tolong sampaikan kepada keluarganya.”
Aku menerima amplop itu. Warna putih dengan bercak darah disana-sini. Mataku terbelalak ketika dibagian depan amplop tertulis namaku, “Kepada Mas Asep”.
________________
Suatu sore yang cerah, seminggu setelah kepergian Marini, aku duduk diteras rumahku. Sengaja seminggu ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasa, jual gorengan. Ini aku lakukan sebagai penghormatan atas kepergian Marini yang begitu tiba-tiba.
Tanganku menggenggam amplop yang ditemukan waktu kecelakaan. Dengan hati-hati aku robek ujung amplop lalu aku keluarkan isinya. Beberapa saat kemudian aku menekuri tulisan Marini yang rapi.
Buat Mas Asep
Yang masih sangat aku sayangi
Maaf mas kalau keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita yang secara tiba-tiba dan tanpa alasan membuat Mas Asep kecewa, marah bahkan sakit hati kepada Marini. Tapi sungguh mas, aku tak ada maksud seperti itu. Aku tak sanggup untuk jujur secara langsung kepadamu mas, maka aku menulis surat ini dan akan aku kirimkan setelah sampai di Jakarta.
Silakan Mas Asep akan membenci Marini seumur hidup setelah mendengar kejujuran Marini. Mas, aku sebenarnya telah hamil 2 bulan. Pasti mas bertanya hamil sama siapa, padahal Mas Asep pun tak pernah berbuat. Ini memang kesalahanku mas, ya aku salah besar telah mengkhianati cinta tulus Mas Asep. Aku terlalu mudah dibujuk dan dirayu oleh syetan. Aku terlalu lemah sebagai seorang wanita. Aku terlalu kotor dihadapan Mas Asep yang begitu baik. Maka dari itu, lebih baik kita akhiri hubungan kita yang tak sepadan ini, aku yakin mas pasti mendapatkan ganti yang lebih baik lagi. Lupakan aku mas dan segala kenangan tentang kita.
Itu saja mas surat dari aku. Mas Asep tidak perlu tahu siapa ayah dari yang aku kandung ini dan memang gak ada yang tahu selain aku sendiri. Yang jelas, tujuanku ke Jakarta adalah menemukan ayah dari bayi didalam rahimku. Terima kasih atas kebaikan mas Asep selama ini.
Salam sayang,
Marini
Aku remas surat itu lalu kukepal dalam genggamanku. Aku memandang ufuk barat yang mulai kekuningan. Aku berdiri lalu berlari menuju halaman. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan, yang pasti dada ini terasa plong. Lega. Aku merasa seperti dilahirkan kembali setelah menempuh perjalanan yang teramat jauh dan melelahkan.
Semarang, 15 januari 2007