26.4.07

Impoten

Bujang lapuk.
Ya, sebutan itu yang sering terlontar dari teman-teman Parjo ketika mereka berkumpul dan bercanda di sanggar. Bukan tanpa alasan kalau mereka menyindir Parjo dengan sebutan demikian. Bayangkan saja, usia sudah hampir kepala empat, kurang dikitlah. Rambut gondrongnya sudah bercampur dengan uban disana sini. Teman seangkatannya mulai dari esde, es-em-pe, es-em-a bahkan teman-teman kuliahnya sudah menikah semua. Ada yang sudah beranak dua, tiga, empat, malah sudah ada yang meminang cucu. Tinggal Parjo sendiri yang masih dengan santainya melenggang tanpa isteri. Alhasil, setiap ngumpul di sanggar atau dimanapun, ia pasti jadi bahan ledekan teman-temannya.

Parjo adalah anak sulung dari lima bersaudara. Adiknya dua perempuan dan dua laki-laki. Semua sudah berumah tangga dan sudah bisa memberikan cucu-cucu manis pada bapak dan ibunya. Adik-adiknya sampai ndower bibirnya memberi saran sama Parjo agar segera menikah. Ibu bapaknya yang sudah merenta bahkan sampai kehabisan kata dan cara membujuk anak sulungnya itu. Sehabis nasehat selesai, pasti parjo hanya akan menutup dengan sebuah kata yang memang luas penjabarannya, sabar. Padahal kurang apa si Parjo yang ndablek itu, pacar sudah punya, seorang wanita setia yang sudah menunggu kesediaan Parjo buat meminangnya. Namanya Niken. Kalau bukan wanita setia, tidak mungkin ia kuat mendampingi Parjo delapan tahun ini. Pekerjaan ada. Selain dia seorang pelukis yang sudah cukup punya nama, buku-buku sastra karangannya pun bisa ditemui ditoko-toko buku dimanapun, sampai ditoko buku loak pun pasti ada sebuah buku yang sampulnya tertera sebuah nama “Parjo Adhiluhung”. Kalau dipikir-pikir kurang apa coba.

“Kamu itu nunggu apa to le? Coba lihat adik-adikmu, temen-temenmu, semua kan sudah mendahului kamu. Apa kamu juga ndak kasihan sama Niken?” Nasehat ibu seperti ini sudah hafal menyusup ke gendang telinga Parjo. Tidak pagi tidak siang, setiap ketemu, ibunya pasti akan memberi ceramah seperti itu.
“Ya Bu, saya tahu. Makanya saya minta semua sabar. Saya pasti akan menikah kok.” Jawaban Parjo pun pasti akan selalu demikian. Sekiranya lebih sopan, pasti dia sudah merekam kata-kata itu, agar setiap ada orang yang bertanya, Parjo tinggal mencet tombol play.
“Dari dulu sabar sabar terus. Memangnya apa yang kamu tunggu?”
“Saya menunggu mukjizat Bu.”
“Mukjizat apa le? Mbok jangan aneh-aneh gitu. Memangnya kamu itu nabi, mau nunggu mukjizat segala.”
“Ya pokoknya mukjizat. Sudah ya bu, saya pergi dulu. Ada lukisan yang harus saya selesaikan di sanggar.”

******************

Di sanggar pun pasti akan terjadi kehebohan ketika Parjo datang.
“Hoi… si Bujang Lapuk datang nih!” Seru Imron menyambut kedatangan Parjo.
Yang disambut malah cuek bebek nginjek tembelek. Nyelonong masuk begitu saja tanpa peduli apa kata teman-temannya. Ibaratnya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Sebenarnya ejekan teman-teman Parjo bukan tanpa alasan. Mereka berbuat demikian agar Parjo segera tersadar untuk melaksanakan kodratnya sebagai seorang manusia. Suatu kali bahkan ada teman sanggar yang membuat lukisan Parjo bersama Niken sedang duduk dipelaminan. Bukan pujian yang didapat, eh malah lukisan itu dirobek-robek Parjo hingga tak berbentu lagi. Pada akhirnya mereka selalu kalah dengan sikap Parjo yang seperti berhati batu.

Sebenarnya, pada kenyataannya tidak demikian. Parjo tak secuek seperti yang mereka kira, bapak ibu, adik-adik Parjo, Niken atau teman-teman Parjo. Setiap malam menjelang tidur, Parjo selalu termenung disisi dipan, tempat tidurnya. Mau tak mau sebenarnya perkataan dan ejekan teman-temannya melukai hatinya pula. Memang tak bisa dipungkiri bahwa sudah seharusnya Parjo menikah dan punya anak. Parjo hanya bisa mendesah. Kasihan Niken, sampai saat ini aku masih terus membuatnya menderita, rutuk batin Parjo pedih.

Saat-saat demikian, ia biasanya akan memandangi sebuah lukisan besar yang tergantung di tembok diatas tempat tidurnya. Sebuah lukisan burung elang bersayap besar sedang terbang dengan gagahnya melewati awan-awan putih yang membentag dilangit luas. Diparuhnya, seekor ikan besar menggelepar pasrah. Lukisan itu sudah sembilan tahun lamanya menempel didinding kamar Parjo. Lukisan itu dibuat ketika dia pulang dari Manado, selepas mengikuti sebuah pameran lukisan selama sepuluh hari disana. Dan lukisan itulah yang menjadi saksi bisu dari semua gejolak pikiran yang selama ini menggelayuti dada Parjo. Menyebabkan ia diejek teman-temannya sampai sekarang sebagai si Bujang Lapuk.

Parjo masih ingat peristiwa beberapa tahun silam situ di Manado. Ketika suatu malam ia diajak teman-temannya keliling kota, lalu mampir ke sebuah kompleks. Mereka semua masuk kamar masing-masing termasuk Parjo. Tentu saja dengan didampingi wanita-wanita aduhai penghuni kompleks itu. Lalu kemudian Parjo keluar kamar paling duluan dengan meninggalkan wajah kecewa teman kencannya. Lalu Parjo terpaksa pulang lebih dahulu daripada teman-temannya. Lalu dengan diam-diam malam berikutnya Parjo mengunjungi kompleks itu lagi tanpa ada temannya yang tahu. Lalu kejadian kemarin malam terulang lagi. Parjo keluar kamar dengan meninggalkan wajah kecewa teman kencannya.

Lukisan burung elang itulah yang tercipta ketika Parjo sudah kembali ke Jogja dan berkumpul dengan teman-teman sanggarnya kembali.

****************************

Suatu pagi ketika Parjo mengantar Niken ke tempat kerja, sebuah kantor advokat lumayan terkenal di Jogja, mereka menyempatkan sarapan bubur ayam dipinggir taman UGM.
“Mas Parjo sudah punya rencana”, tanya Niken sambil mengunyah bubur ayam kesukaanya.
“Rencana apa maksudmu?” Jawab Parjo acuh tak acuh.
“Ya rencana masa depan kita Mas. Pikiran Mas Parjo dah terbuka belum?”
“Terbuka terus dari dulu…”
“Aku serius Mas…”
“Aku duarius.”
“Huh!”
“Napa?” Parjo memandang wajah Niken yang cemberut sambil tersenyum tipis. “Ya tentu saja ada rencana masa depan dong Ken. Masak aku mau begini terus…”
“Ya. Terus kapan?”
“Sabar. Orang sabar kan disayang Tuhan.”

Kalo Parjo sudah ngomong sabar sabar, Niken malas mau melanjutnya pembicaraan. Dia memilih diam sampai tiba ditempat kerjanya.

*********************

Malam terasa sepi. Diluar rintik hujan berjingkat-jingkat diujung-ujung daun yang kedinginan. Parjo melirik jam weker diatas meja kerjanya. Jam sebelas lebih empat puluh menit. Ahhh! Parjo menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
Parjo bangkit lalu berjalan menuju almari dipojok kamar. Dibukanya almari lalu mengambil sesuatu dari bawah lipatan baju-bajunya. Sebuah kepingan vcd. Dengan gontai Parjo menghampiri vcd player dibawah meja tivi. Ditekannya tombol open lalu dimasukkan kepingan vcd itu. Parjo kembali ke duduk diatas kasur. Diambilnya remote lalu dihidupkan tivinya.

Beberapa detik kemudian, dilayar tivi muncul gambar-gambar aneh yang ternyata adalah tontonan khusus dewasa. Ya seperti itulah, tidak perlu dijelaskan lebih lanjut pasti sudah pada tahu. Dengan seksama dan penuh konsentrasi Parjo melihat apa yang tersaji dilayar tivi. Sesekali ia melirik sarung yang sedang dipakainya. Diam. Lebih konsentrasi lagi Parjo berusaha menikmati setiap adegan dilayar. Lalu ia melirik sarungnya lagi. Diam. Tak ada reaksi.

Sudah hampir empat puluh lima menit berlalu, tapi yang diharapkan Parjo tak terjadi juga. Brengsek!!! Parjo menggeram. Ia bangkit dan mematikan tivi dan vcd playernya. Sejurus kemudian ia sudah berada didepan computer. Jarinya-jarinya menekan tombol-tombol keyboard dengan kasar.

Jika aku tak perlu kencing tiap pagi agar aku tetap hidup,
Pasti kelamin ini sudah aku sumbangkan di museum Sangiran
Biar orang menyebutnya itu kelamin manusia purba
Biar orang tak pernah tahu aku pernah punya kelamin itu

Jika aku tak perlu burung ini agar aku bisa disebut lelaki,
Sudah kupotong dan kutempeli sayap dikanan kirinya
Biar ia terbang tinggi mencari teman – teman seperburungan
Biar ia tak mlempem terus dipangkal pahakuku

Ah, tapi apa aku ini masih bisa disebut lelaki
Meski masih ada benjolan diselangkanganku
Sedang aku tak mampu sekedar menaklukkan seorang pelacur dekil
Aku juga tak sanggup mengucapkan akad pada kekasihku?

Ah!!

******************

“Tumben Mas Parjo sempat datang kerumah malem Kamis gini? Biasanya sudah numplek di sanggar bersama teman-teman Mas?”
“Ya memang. Aku terpaksa bolos meeting karena ada hal yang perlu aku omongin sama Niken.”
“Wah peningkatan nih.” Niken tersenyum.
“Peningkatan apa?”
“Biasanya kan mas Parjo gak pernah memulai untuk ngomong terlebih dulu, tapi malam ini tumen banget. Pasti ada yang penting nih…”
“Ya begitulah.”
“Ada apa Mas, jadi deg-degan nih…”
“Sebelumnya aku minta maaf sama kamu, selama delapan tahun ini aku sudah membuatmu menderita dalam sebuah penantian yang tak ada batasnya. Kamu dengan setia mendampingi si Bujang Lapuk yang ndablek ini. Tapi sungguh, aku tak ada maskud demikian. Menelantarkanmu dalam kesia-siaan. Aku tak bisa memungkiri kenyataan bahwa aku memang sangat menyayangimu lebih dari yang kamu tahu meski aku belum punya keberanian untuk menjadikanmu sigaring nyawaku. Aku berterima kasih padamu karena kamulah semangat yang membuatku tetap bertahan hidup meski dalam kegamangan yang selalu menghantuiku.”

Parjo menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Sebenarnya ada satu rahasia yang selama ini aku pendam yang tak diketahui siapapun. Kamu, orang tuaku, adik-adikku bahkan temen-temen dekatku sekalipun. Rahasia itulah yang membuatku selalu minder, tak pede, kehilangan tekad untuk menjadikanmu permaisuri hatiku. Ini mungkin terasa konyol setelah kamu mendengarnya. Kamu mungkin akan tertawa ngakak lalu terbirit-birit pergi meninggalkanku.”
“Apa sebenarnya yang terjadi Mas? Selama ini Mas Parjo selalu bungkam setiap aku tanya apa alasannya. Aku ingin tahu, tapi aku juga tak bisa memaksa jika Mas parjo memang belum siap untuk melakukan apapun. Kesetiaan ini sebagai bukti bahwa aku tak main-main dengan Mas Parjo. Aku cuek apa kata orang tentang aku, tentang kita, karena aku yakin suatu saat Mas Parjo akan melakukan apa yang terbaik buat kita.”
“Ya Niken. Aku memang salah selama ini. Disatu sisi aku mau jujur tentang diriku tapi disisi lain aku takut akan kehilanganmu setelah kejujuranku. Aku memang pengecut.”
“Sudahlah Mas. Sekarang katakanlah apa yang ingin kamu katakan.”
“Kamu tahu kan lukisan burung elang dikamarku?”
“Ya. Memang ada apa dengan lukisan itu?”
“Sebenarnya dalam lukisan itulah semua rahasiaku berada.”
“Maksudnya?”
“Aku malu mengatakannya Ken.”
“Mas…” Niken menggenggam jemari Parjo yang tiba-tiba terasa dingin. “Kita kan sudah kenal tidak cuma seminggu, sebulan atau setahun, kenapa mesti malu untuk berkata jujur? Katakan saja Mas, insya Allah aku akan mendengarnya dengan arif meskipun itu menyakitkan buat aku.”
“Terima kasih Ken.” Parjo menatap bola mata Niken yang begitu jenih dan bercahaya.
“Burung elang dalam lukisan itu adalah simbol paling pribadiku, kelelakianku dan kejantananku yang aku rasa telah hilang entah kemana. Selama kurun waktu ini aku berusaha mencari dan menemukan, tapi aku tak tahu harus mendapatkannya dimana. Kamu pasti tak akan pernah tahu bagaimana rasanya seorang lelaki tanpa kelelakian sehingga ia tak pantas disebut seorang lelaki. Ia hanya merasa seperti sampah yang teronggok di tong dan menyebarkan bau yang tidak sedap.”
“Ken….” Parjo menggenggam erat jemari Niken yang lembut. “Aku impoten…..”
“Hahaha…..” Niken tertawa ngakak. Parjo bengong, tak bisa memaknai arti tawa Niken yang lepas itu.
“Kenapa kamu malah tertawa Ken? Aku tahu, kamu pasti akan menertawakan ini.”
“Jadi karena rahasia itu selama ini hati Mas Parjo berubah menjadi batu?”
“Kenyataan itulah yang menyiksaku selama ini. Aku takut tak akan bisa membahagiakan hidup. Kamu terlalu berharga untuk bersanding dengan seorang lelaki yang tak pantas disebut lelaki ini.”
“Darimana Mas tahu kalo impoten, sedang selama ini kita tak pernah melakukan apapun? Atau jangan-jangan Mas punya wanita lain ya…”
“Bu-bukan seperti itu Ken…”
“Lalu…?”
“Jujur ya, sebelum aku kenal kamu, waktu aku pameran ke Manado, aku pernah terbujuk teman yang membawaku ke sebuah kompleks. Aku masuk kamar dengan seorang wanita. Tapi ternyata aku tak bisa melakukan apapun. Aku coba lagi lain waktu, tetap saja demikian. Sebagai lelaki normal, mungkin kejadian-kejadian itu akan membawaku ke sebuah petualangan, tapi aku tak bisa melakukan apapun. Sampai saat inipun aku belum bisa merasa menjadi lelaki meskipun aku melihat hal-hal yang seharusnya bisa membuatku menjadi lelaki…”
“Alhamdulillah….”
“Loh kok Alhamdulillah Ken? Kamu suka punya calon suami loyo sebelum bertanding?”
“Patut disyukuri Mas. Kalau saja Mas Parjo waktu itu normal seperti lelaki lain, sudah tentu Mas akan tidur dengan pelacur itu. Artinya tahu kan? Zina. Itu dosa Mas. Syukurlah waktu itu Mas loyo. Hahahaa….”
“Jangan menertawakan aku dong Ken.”
“Nggak kok Mas. Aku tertawa karena seneng. Pertama, Mas mau jujur sama aku. Kedua, ternyata mas bener-bener masih perjaka ting-ting…”
“Perjaka apa? Perjaka loyo….”
“Mas Parjo, aku sayang kamu seutuhnya. Dengan adanya kelebihanmu dan semua kekuranganmu, aku menerima semuanya. Apapun itu. Aku tak akan mundur atau pergi meninggalkanmu hanya karena kejujuranmu yang aneh ini. Sebaliknya, aku akan menjadi ikan yang menggelepar diparuhmu, karena cengkeramanmu yang begitu kuat.”
“Tapi cakarku gak ada kukunya sama sekali Ken.”
“Mas gak usah banyak bicara ya, pokoknya besok Mas dan keluarga datang kerumah melamarku lalu kita tentukan hari pernikahan kita.”
“Tapi aku tetap belum bisa menjadi lelaki kan.”
“Ahh, itu kan belum cukup bukti.”
“Sudah banyak bukti!”
“Belum!!”
“Sudah!!”
“Belum. Masih ada satu yang belum dilakukan untuk membuktikan kebenaran itu…”
“Apa?!”
“Mas belum melihatku tanpa pakaian kan?”
“Hah!!”
“Kenapa?!”
“Kapan? Sekarang?!”
“Heit! Tunggu tanggal mainnya dong.”

Parjo seperti baru saja lepas dari lingkaran api yang selama ini mengurungnya setelah mengungkapkan kujujuran pada Niken. Angin tiba-tiba berhembus begitu lembut merasuk ke paru-paru Parjo yang terasa begitu bersih. Direngkuhnya tubuh Niken dan dibenamkannya dalam dadanya yang bidang. Bintang-bintang diatas sana seakan-akan sedang tersenyum melihat kebahagiaan Parjo malam ini.

****************

Sebulan kemudian, disebuah koran, di kolom hiburan terpampang wajah Parjo bersanding dengan Niken Ayu. Dibawah foto tertulis dengan jelas, Bujang Lapuk Itu Akhirnya Menikah. Tanpa siapapun tahu tentang rahasia yang sesungguhnya dan tanpa ada yang tahu bahwa dimalam pengantin mereka, Parjo telah membuktikan bahwa ternyata ia bisa menjadi seekor elang yang kekar dan membuat Niken menggelepar dalam cengkeramannya yang kuat. Tanpa ada yang tahu, kecuali Parjo dan Niken serta lukisan burung elang di kamar Parjo.


Semarang, 16 Januari 2007

No comments:

Post a Comment