9.1.07

Sepanjang Jalan

Keletihanmu adalah kenyataan yang wajar — seperti letihku menemukan jatidiri. Mimpimu takkan hilang hanya karena gempa kecil dipelataran hatimu. Ombak tak sekuat keyakinan — senja tak selembut kejujuran. Lelapkan letihmu dengan hasrat dan kepercayaan — bahwa langit tak selamanya mendung — bahwa mendung tak musti berakhir dengan hujan. Kadang ada kenyataan yang lebih baik dari yang diharapkan — tapi adakalanya kenyataan pahitlah yang musti kita rasakan.

Sepiku adalah milikmu. Hening ini adalah meditasi. Tak ada angin yang diam — tak ada gading yang tak retak — tak ada manusia yang sempurna. Seperti aku, kaupun pasti punya dosa. Nafas tak mengalir adalah mati — ruang tanpa udara adalah hampa — tapi masa depan masihlah punya harapan yang musti kita perjuangkan.

Kita — aku dan kamu juga mereka — hanyalah segelintir nasib — yang ditaksirkan untuk menjalani hidup dalam kehidupan. Apakah kita musti meratap, menangis, menjerit, menyayat — sementara tak satupun peluh pernah menetes dari pori-pori kulit. Air mata hanya akan kering tanpa menyisakan cerita — hati hanya akan beku dengan meninggalkan rindu — rindu pada waktu yang begitu cepat melaju. Namun tak usah pula meratapi masa silam — biarkan saja dia menjadi kenangan waktu nanti.

:Dibawah sinar rembulan — diteras rumah ada dendang lagu cinta — merdu — melebur dalam warna syahdu. Jadilah dia menjadi selembar kenangan. Kenangan pahit bukanlah hal yang musti dilupakan. Kenangan adalah kenangan — kenangan adalah ingatan — kenangan adalah pengalaman — kenangan adalah masa silam — kenangan adalah kisah.

Ketika resah dan sedihmu datang, air matamu suci untuk kamu tumpahkan namun kau tak mesti harus memenjarakan hati. Katakan pada alam, pepohonan, embun, dedaunan dan bebatuan tentang sedih di hatimu. Aku ingin memberi nyala disini — seperti fajar sunyi yang membawa mentari beranjak makin tinggi.

Kekasih, sahabat, teman dan saudaraku — kita adalah air sungai yang mengalir — dari hilir ke hulu — dari hulu ke muara — dari muara ke lautan luas. Entah dengan apalagi aku musti mengartikannya — dunia yang hiruk pikuk tak lagi bisa memberi arti pada sebuah kata-kata. Kaupun mungkin bosan dengan kata-kata. Karena kebohongan dan kejujuran bisa berasal dari kata-kata — karena sakit dan luka bisa meradang oleh kata-kata. Tetapi kata-kata pun bisa pula lebih dari sekedar tarian lidah disela rahang. Dunia bisa damai bisa karena kata-kata, hati bisa tenteram karena kata-kata — mantra adalah kata-kata — doa adalah kata-kata.

Apakah aku terlalu puitis, Sayang? Sehingga hening disini membeku bagai gunung es di laut Antartika. Rembulan diam, enggan beranjak dari peraduan. Angin malam hanya membisu dibalik rimbun dedauan.

Ah, aku ingin menatapmu sekarang. Mencari perca-perca rahasia yang masih terkubur dikelopak matamu. Ada setetes air bening menggenang di sudutnya. Aku ingin lebih dekat denganmu — merasai rasamu. Jangan kau kucilkan niatku yang merangkak di sepanjang lembah dan padang luas dihatimu.

Aku mungkin terlalu sedih untuk menangis — aku mungkin terlalu gembira untuk tertawa. Aku hanya ingin diam disini saja — di tepi hatimu yang rimbun. Agar aku bisa melangkah disetiap jejakan langahmu — agar aku bisa bernafas disetiap denyut jantungmu. Laguku hanya sunyi — petikan gitar terasa sumbang karena putus dua senarnya.

Aku tak ingin lagi mereka-reka hari dengan mimpi dan ilusi. Membanggakan angan yang terkadang kosong saat kenyataan membukanya. Gapailah jemariku — aku ingin hangat ini menyatu dari hati ke hati. Jangan lepaskan — kecuali memang tak ada lagi tempat untuk bersemayam.

Kekasih, sahabat, teman dan saudaraku — apakah akhir dari kisah ini?? Hanyalah sebuah bualan mungkin — jika kau tak mampu sedikitpun mencerna — memberi makna — apalagi ikut terhanyut dalam nuansa sepi yang telah kuciptakan lewat puisi.

Terakhir kudengar kini — cinta berucap cinta — cinta menyapa cinta — cinta bersatu dengan cinta. Ah, apalagi ini??! Apakah kau bingung mencerna?? Aku sendiripun tak bisa mengartikannya….

:Suatu malam yang dingin…..

No comments:

Post a Comment