2.4.08

Nostalgia

Sunyoto memandang wajah Surti yang duduk persis didepannya dengan perasaan yang berkecamuk. Dia tak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat itu, antara perasaan senang dan takut. Senang karena setelah tiga tahun berlalu, Sunyoto tiba-tiba bertemu kembali dengan mantan kekasihnya waktu di Jogja dahulu. Sementara Sunyoto pun takut dengan perasaannya sendiri. Takut dosa, takut disebut seorang pengkhianat atau bahkan seorang penjahat yang merampas milik orang lain meskipun wanita yang kini berada didepannya itu memang pernah jadi miliknya walaupun memang belum sepenuhnya.

Ya, Sunyoto masih ingat betul saat-saat manis bersama Surti beberapa tahun silam. Hidup penuh warna, penuh arti, penuh semangat, penuh hasrat, penuh keindahan. Memang ada hal yang mengganjal hubungan mereka. Orang tua Surti tak setuju hubungan mereka dengan alasan yang klise yang mungkin memang dianggap wajar bagi sebagian orang tua. Tidak sepadan lah, anak orang miskin lah. Tapi Sunyoto tak patah arang dengan sikap orang tua Surti. Dengan sedikit main belakang, Sunyoto bertekad membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, bisa menjadi orang dan sanggup membahagiakan Surti. Namun belum sempat semua itu terwujud, Sunyoto dan Surti harus berpisah ditengah jalan. Surti dijodohkan dengan seorang pengusaha dari semarang yang cukup terpandang. Ya memang jauh bila dibandingkan dengan Sunyoto yang saat itu hanya seorang kepala produksi sebuah perusahaan roti. Sedang Surti sendiri tak mampu melawan kehendak orang tuanya. Akhirnya setelah Surti menikah, Sunyoto tak lagi bisa bertemu dengan Surti. Surti ikut suaminya ke Semarang, sedang Sunyoto meneruskan perjuangannya di Jogja.




Perjuangan Sunyoto yang tak kenal putus asa akhirnya membuahkan hasil juga. Sekarang ia bukan lagi seorang kepala produksi, tapi ia mempunyai usaha roti sendiri yang sudah cukup maju dengan membuka beberapa cabang. Tentang Surti, mau tak mau ia pun harus melupakannya. Sunyoto mempersunting Rani, anak seorang anggota DPRD. Cukup hebatlah bagi seorang Sunyoto, tapi tak bisa dipungkiri, jauh didalam hatinya masih tersisa sedikit ruang untuk memprasastikan kenangannya bersama Surti.

Untuk mengembangkan usahanya, Sunyoto berniat membuka cabang di Semarang. Maka iapun berangkat untuk survey pasar serta mencari lokasi yang kira-kira cocok. Ketika makan disebuah restoran, sesuatu yang tak pernah terlintas dalam benak Sunyoto terjadi, ia bertemu dengan Surti. Gejolak rindunya yang selama ini tersimpan membuncah seketika. Kenangan masa lalunya berderet-deret di jidatnya. Arsip-arsip yang sudah dia kubur bertahun-tahun seakan menumpuk kembali diatas meja kerjanya. Kegembiraan diwajah mereka tak bisa disembunyikan meski status mereka memang sudah lain. Surti ternyata punya usaha sendiri juga, ia mendirikan beberapa butik di kota Semarang. Anaknya sudah tiga, laki-laki semua. Setelah ngobrol beberapa saat akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu lagi esok hari setelah sebelumnya saling tukar nomor hape.

Keesokan harinya seperti janji kemaren mereka bertemu lagi. Tapi pagi Surti mengirim pesan agar Sunyoto menjemputnya di salah satu butik Surti. Sunyoto melarikan mobilnya menuju hotel tempatnya menginap. Hanya sekedar ngobrol mungkin, biar lebih privacy, batin Sunyoto. Sebenarnya jauh didalam hatinya pun ia mengakui bahwa ini suatu kesalahan. Ini memang sudah bukan masa dulu lagi dimana aku masih menjadi kekasihmu Surti, batin Sunyoto. Status kita sudah berbeda, kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Kita sudah punya ruang sendiri yang berbeda meski aku tahu kita tak akan pernah bisa membuang perasaan yang pernah kita rangkai bersama. Dan apakah kita salah jika kita sedikit mengobati rasa rindu ini, Surti?

Sunyoto masih ingat perkataan temannya ketika tadi malam ia curhat soal pertemuannya dengan Surti – Pertemuan ini hanyalah sebuah kalimat yang tersusun dari beberapa kata-kata. Dan kalimat ini adalah sebuah puisi indah yang pernah kalian buat. Jagalah puisi itu hanya didalam batin. Jangan biarkan ia seronok. Keluar dari hati merasuki jasadmu, merasuki nadi ditanganmu, didadamu, dikepalamu dan disekujur tubuhmu. Kalian tak mungkin melakukan puisi itu secara jasmaniah dan kultural. Maka peliharalah puisi itu hanya dalam hati jika kalian tak mau puisi itu pergi.

Sunyoto kembali menatap Surti. Perasaannya masih berkecamuk dan tahu apa yang harus dilakukan dikamarnya ini. Antara rasa rindu dan kesadaran untuk menyadari saling bertabrakan. Membentur dinding-dinding hatinya yang bergejolak.
Surti menatap Sunyoto sambil tersenyum. Manis. Masih seperti senyum yang dikenal Sunyoto beberapa tahun silam. Dan justru senyum itulah yang bisa merontokkan ketegaran Sunyoto. Blaik!
“Kenapa diam saja Mas Yoto? Apa nggak rindu sama aku. Kita kan sudah lama tak ketemu, masak aku didiemin begitu saja. Memangnya aku ini patung…?”
Surti menggengam tangan Sunyoto. Buummm!! Sunyoto merasa seperti disengat aliran listrik 1000 V. Menyentak jiwanya. Tangan Surti seperti mengalirkan hawa lain yang merasuki tubuh Sunyoto.
“Eh nggak, nggak apa-apa kok.” Sunyoto tergagap. “Aku Cuma masih belum percaya kita tiba-tiba bertemu lagi.”
“Iya. Terus kenapa Mas Yoto menyia-nyiakan kesempatan ini dengan berdiam diri?”
“Aku nggak tahu mesti ngapain?” Pertanyaan Sunyoto yang lugu membuat Surti tersenyum.
“Ya ngapain kek. Cerita soal keluarga, usaha, kenangan kita atau apalah.” Surti memeluk tubuh Sunyoto dengan erat. Erat sekali. Sunyoto terbelalak. Kaku. Diam. Surti bisa merasakan dengusan nafas Sunyoto yang memburu. Entah apa yang ada lama pikiran Sunyoto.

Beberapa saat mereka diam dalam posisi seperti itu. Sempat terlintas dalam benak Sunyoto, wajah Rani, istrinya. Lalu teringat kata temannya. Lalu masa lalunya dengan Surti. Lalu ombak besar kerinduan datang menghempaskan tubuh Sunyoto dan Surti ke tempat tidur. Merapatkan bibir mereka dalam sebuah ciuman yang panjang. Melucuti pakaian mereka. Meneteskan keringat mereka. Menghancurkan puisi mereka yang indah.

Beberapa saat kemudian, setelah tersadar dengan apa yang barusan terjadi, Sunyoto terdiam, menatap langit-langit kamar, sementara disampingnya Surti terbaring sedikit terisak. Sunyoto bangkit. Berjalan menuju kamar mandi. Ia berdiri termenung, menatap wajahnya yang memantul dicermin.
“Apa yang barusan aku lakukan?” gumam Sunyoto. “Aku telah melakukan kesalahan besar. Aku telah menghancurkan puisiku yang indah. Maafkan aku Surti.”
Tiba-tiba dada Sunyoto terasa sesak sekali. Ia terhuyung-huyung lalu terjerembab ke lantai kamar mandi.

Semarang, 18 Januari 2007
-----------------


Ini cerpen lama yang aku tulis. Yah aku posting ajalah buat nambah arsip. Tapi disisi sebuah arsip, ada satu pesan dalam cerpenku ini, ' bagaimana orientasi masa lalu harus kita terapkan pada masa sekarang". Apakah perlu sejarah membelenggu kita bahkan menghancurkan kehidupan kita yang mungkin 'bisa' lebih tenang.

Ada sebuah tulisan dafa tentang masa lalu :
Ketika suatu hubungan tidak dilandasi oleh kejujuran, kemunafikan akan semakin meraja-rela. Itulah pentingnya kejujuran dan kebenaran tetapi kitaterkadang tidak melakukanya dengan pasangan kita....
....... saling menanamkan kepercayaan dalam hubungan, memberikan pandangan umum bahwa ikatan itu penting, jujur apa adanya dan memberitahukan masa lalu,menjamin dirinya mengetahui secara penuh dan jangan meninggalkan rasa penasaran.
...... ketika kita menyembunyikan sesuatu di masa lalu dari pasangan atau hanya “lupa” mengatakannya, anda akan telihat bersalah ketika hal itu muncul dalam hubungan.

Monggo... lanjutkan hidup Anda menjadi lebih tenang dan energik.
Keep faith n honestly!!

3 comments:

  1. Dalam keadaan apapun harus jujur juga..... gitu ya....??

    tapi emank daku nggak suka boong sich... halah... :)

    ReplyDelete
  2. kekekekekeek... kok antara yogya dan semarang sich.. nggak ada kota laen apa heheehe....

    kenangan masa lalu .. nya s-a-p-a ya ?????

    ReplyDelete
  3. Ckakakaka.... ckukukuku.... ckikiki... Wawh... Cerita ini adalah fiksi, kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan belaka. Maaf bagi yang tersinggung. (Maafkan aku ya diriku sudah menyinggungmu. Hehe)

    ReplyDelete